1.
Definisi Leadership
Stogdill
(1974) menyimpulkan bahwa banyak sekali definisi mengenai kepemimpinan.
Hal ini dikarenakan banyak sekali orang yang telah mencoba mendefinisikan
konsep kepemimpinan tersebut. Namun demikian, semua definisi kepemimpinan yang
ada mempunyai beberapa unsur yang sama.
Sarros
dan Butchatsky (1996), "leadership is defined as the purposeful
behaviour of influencing others to contribute to a commonly agreed goal for the
benefit of individual as well as the organization or common good". Menurut
definisi tersebut, kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku
dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk
mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan
organisasi. Sedangkan menurut Anderson (1988), "leadership means
using power to influence the thoughts and actions of others in such a way that
achieve high performance".
Berdasarkan
definisi-definisi di atas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi. Antara
lain:
Pertama: kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga.
Pertama: kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga.
Kedua: seorang
pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya (his or
herpower) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan.
Menurut French dan Raven (1968), kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin
dapat bersumber dari :
Ø Reward
power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan
dan sumberdaya untuk memberikan penghargaan kepada bawahan yang mengikuti
arahan-arahan pemimpinnya.
Ø Coercive
power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan
memberikan hukuman bagi bawahan yang tidak mengikuti arahan-arahan
pemimpinnya.
Ø Legitimate
power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai hak untuk
menggunakan pengaruh dan otoritas yang dimilikinya.
Ø Referent
power, yang didasarkan atas identifikasi (pengenalan) bawahan terhadap sosok
pemimpin. Para pemimpin dapat menggunakan pengaruhnya karena karakteristik
pribadinya, reputasinya atau karismanya.
ØExpert
power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin adalah seeorang
yang memiliki kompetensi dan mempunyai keahlian dalam bidangnya.
Para pemimpin dapat
menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau kekuatan yang berbeda untuk
mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi.
Ketiga: kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication) dalam membangun organisasi. Walaupun kepemimpinan (leadership) seringkali disamakan dengan manajemen (management), kedua konsep tersebut berbeda.
Perbedaan antara
pemimpin dan manajer dinyatakan secara jelas oleh Bennis and Nanus
(1995). Pemimpin berfokus pada mengerjakan yang benar sedangkan manajer
memusatkan perhatian pada mengerjakan secara tepat ("managers are people
who do things right and leaders are people who do the right thing, ").
Kepemimpinan memastikan tangga yang kita daki bersandar pada tembok secara
tepat, sedangkan manajemen mengusahakan agar kita mendaki tangga seefisien
mungkin.
2.
Teori kepemimpinan partisipatif.
a.
Teori X dan Teori Y (DOUGLAS MC GREGOR)
Prof. Douglas Mc Gregor
menyatakan bahwa jenis organisasi birokrasi yang dirumuskan oleh para teoritis
klasik mencerminkan pandangan yang sangat naif terhadap manusia, yang ia beri
nama teori X. Sehubungan dengan adanya orang yang memilki sifat buruk
ditumbuhkan teori X dan sehubungan dengan adanya orang yang memilki sifat baik
ditumbuhkan/ diciptakan teori Y.
Kemudian Mc Gregor
mengusulkan suatu pandangan yang sama sekali berbeda mengenai sifat manusia,
yang ia namakan Teori Y. Teori ini beranggapan bahwa bekerja merupakan kegiatan
yang alami atau rekreasi.
Teori X dan Y yang
dikemukakan oleh Mc Gregor sering disebut teori kepemimpinan mekanisme dan
teori kepemimpinan humanistis. Berdasarkan teori tersebut ada dua macam asumsi
pendekatan terhadap manusia.
Secara garis besar
kedua teori tersebut memandang manusia sebagai berikut:
Teori X (Tradisional)
|
Teori Y (Potensial)
|
Manusia pada dasarnya
malas. Mereka memilih untuk tidak mau mengerjakan apa-apa
|
Manusia pada dasarnya
aktif. Mereka merumuskan tujuan dan mengejar cita-cita.
|
Manusia bekerja untuk
uang dan mengejar status.
|
Manusia mengejar
kepuasan dalam kerja, bangga mencapai prestasi, terangsang tantangan baru dan
lain-lain.
|
Agar manusia
produktif harus ditakuti untuk dipecat atau dihukum.
|
Agar manusia
produktif, mereka dirangsang untuk mencapai tujuan mereka sendiri dan tujuan
organisasi.
|
Manusia adalah
anak-anak yang tumbuh besar. Mereka tergantung pada pimpinan.
|
Manusia biasanya
dewasa dalam pemikiran, punya tanggung jawab, dan kemampuan untuk memenuhi
diri sendiri dan berdiri sendiri.
|
Orang mengharapkan
dan tergantung. Pada atasan, mereka tidak mau berpikir untuk diri mereka
sendiri.
|
Orang melihat dan
merasa bahwa yang dibutuhkan dapat dicapainya sendiri.
|
Orang perlu
diperintah, ditunjukkan dan dilatih dengan metoda yang tepat.
|
Orang yang mengerti
dan paham tentang yang dikerjakan dapat meningkatkan dan memperbaiki metoda
kerja mereka sendiri.
|
Orang perlu
pengawasan ketat untuk bekerja baik dan menjauhkan kesalahan.
|
Orang perlu pengakuan
bahwa mereka dihargai sebab tahu tanggung jawab dan bisa mengoreksi diri.
|
Orang hanya berminat
terhadap kebutuhan sendiri.
|
Orang ingin memberi
arti pada hidupnya dengan mengabdi pada masyarakat negara dan bangsa.
|
Orang perlu instruksi
khusus tentang yang harus dikerjakan.
|
Orang ingin
meningkatkan pengertian terhadap yang dilakukan dan lingkungannya.
|
Orang senang
diperlakukan dengan hormat
|
Orang menghargai
terhadap sesamanya.
|
Orang pada hakikatnya
terkotak-kotak.
|
Orang pada hakikatnya
terintegrasi antara bekerja dan mengisi waktu senggang (terluang).
|
Orang sulit berubah,
mereka memilih tinggal pada situasi lama.
|
Orang pada hakikatnya
jemu pada hal-hal yang monotone dan rutin. Mereka ingin menikmati pengalaman
baru. Pada hakekatnya orang itu kreatif.
|
Kerja adalah primer
dan harus dikerjakan. Orang dipilih dan dilatih untuk bekerja. Manusia harus
mengabdi pekerjaan.
|
Orang ingin
merealisasikan cita-citanya. Kerja harus dipolakan, diubah dan diabadikan
untuk manusia.
|
Orang terbentuk
karena keturunan. Setelah dewasa mereka merasa statis.
|
Orang selalu tumbuh
dan berkembang. Tak pernah terlambat untuk belajar. Mereka menikmati
pertambahan pengertian dan kesanggupan.
|
Orang perlu diilhami,
didorong, atau ditarik untuk maju.
|
Orang perlu diberi
kebebasan, diberikan semangat, diajak dan dibantu untuk maju.
|
Tipe manusia golongan X
ini, melahirkan kepemimpinan otoriter (Authoriter Management), melaksanakan
kepemimpinan otoriternya dengan dalih karena adanya bukti absensi yang
meningkat, banyak kelambatan masuk kerja, mutu hasil kerja kurang baik dan
tidak memuaskan, sikap kurang acuh terhadap pekerjaan dan sebagainya. Sedangkan
tuntutan upah terus menerus meningkat dan banyak pembangkangan tugas dan kurang
disiplin . Dari teori X manusia antara satu diantara unsur dan produksi selain
produksi uang, material serta peralatan, yang semuanya harus dikendalikan oleh
managemen.
Tipe manusia Y,
menciptakan kepemimpinan demokratik yang memperhatikan tata laku (democratic
& behavioral management) dan mendorong para pegawai bawahan ke arah
pengembangan melalui pendidikan dan latihan pegawai dan berkomunikasi secara
bai, menanamkan ukuran untuk kehidupan yang tinggi dan memberi motivasi. Teori
Y menanamkan bahwa pekerjaan dapat menjadi suatu sumber motivasi bagi karyawan
melalui perwujudan tujuan organisasi manajemen. Ada sementara yang beranggapan
bahwa Teori Y adalah yang terbaik untuk memimpin bawahan. Sebaliknya ada yang
berpendapat bahwa Teori X lebih tepat, dan menentang secara tajam terhadap
Teori Y.
Tetapi suatu kenyataan
bahwa para pemimpin dalam berbagai tingkat organisasi sesuai dengan gaya
kepemimpinannya masing di dalam usaha untuk menggerakkan dan memotivasi bawahan
mengembangkan kombinasi Teori X dan Teori Y.
Keuntungan Teori X:
- karyawan bekerja
untuk memaksimalkan kebutuhan pribadi
Kelemahan Teori X:
- Karyawan malas
- berperasaan
irrasional
- tidak mampu
mengendalikan diri dan disiplin
Keuntungan Teori Y:
- pekerja menunjukkan
kemampuan pengaturan diri
- tanggung jawab
- inisiatif tinggi
- pekerja akan lebih
memotivasi diri dari kebutuhan pekerjaan
Kelemahan Teori Y:
apresiasi diri akan
terhambat berkembang karena karyawan tidak selalu menuntut kepada perusahaan
b.
Teori Empat Sistem dari Rensis Likert
Dengan
mendasarkan pada adanya 2 macam perilaku, kepemimpinan, yaitu perilaku yang
berorientasi pada tugas dan perilaku yang berorientasi pada orang, Rensis
Likert membagi gaya kepemimpinan menjadi empat system, yaitu:
Sistem 1 : Exploitative
Authoritative (Otokritas Pemerasan).
Sistem 2 : Benevolent
Authoritative (Otokritas Bijak).
Sistem 3 : Concultative
Leadership (Kepemimpinan Konsultasi).
Sistem 4 :
Participative Group Leadership (Kepemimpinan Peran serta Kelompok).
Sistem 1 : Otokritas
Pemerasan (exploitative atau Authoritative)
Merupakan
gaya kepmimpinan yang menunjukkan bahwa segala masalah yang timbul dalam
organisasi semata-matadiputuskan oleh pimpinan. Sebagaimana telah diuraikan di
muka tentang cirri-ciri kepemimpinan otoriter, gaya otokritas pemerasan ini
juga mengandung cirri-ciri wewenang mutlak, tidak ada perlimpahan wewenang,
cenderung adanya paksaan, ancaman, hukuman, komunikasi satu arah dari pimpinan
ke bawaha, perhatian lebih tinggi pada produksi, yang diutamakan tugas harus
terlaksana dengn baik apapun cara yang ditempuh, tidak ada kepercayaan pada
bawahan, tidak pernah ada perhatian terhadap gagasan dari bawahan.
Contoh :
·
Manajer menentukan semua keputusan yang
bertalian dengan seluruh pekerja, dan memerintahkan semua bawahan untuk
melaksanakannya.
·
Manajer menentukan semua standard
bagaimana bawahan melakukan tugas.
·
Manajer memberikan ancaman dan hukuman
kepada bawahan yang tidak berhasil melaksanakan tugas-tugas yang telah
ditentukan.
·
Manajer kurang percaya terhadap bawahan
dan sebaliknya bawahan tidak atau sedikit sekali terlibat dalam proses
pengambilan keputusan.
·
Atasan dan bawahan bekerja dalam suasana
yang mencurigai.
Sistem 2 : Otokritas
Bijak (Benevolent Authoritative)
Merupakan
gaya kepemimpinan yang menunjukkan bahwa sebagian besar masalah yang timbul
dalam organisasi semata-mata diputuskan oleh pemimmpin. Sebenarnya gaya system
ke 2 ini sama dengan gaya sistem 1, hanya dengan sedikit perbedaan bawahan
diberikan kesempatan memberikan komentar terhadap perintah-perintah yang
diberikan oleh pimpinan, dan para bawaha telah diberi sedikit kelonggaran untuk
melaksanakan tugasnya tetapi masih sangat ditentukan batas-batasnya yang tegas,
di samping itu juga harus melaksanakan tugas dengan prosedur ketat yang telah
ditetapkan pimpinan, mulai ada kesempatan sedikit mengemukakan gagasan,
pimpinan bersikap merendahkan diri pada bawahan, para bawahan berhati-hati jika
berhubungan dengan pimpinan. Kadang-kadang sudah ada imbalan, sedikit komunikasi
ke atas.
Contoh :
·
Manajer menyampaikan berbagai peraturan
yang berkaitan dengan tugas-tugas atau perintah, dan sebaliknya para bawahan
diberikan kebebasan untuk memberikan pendapatnya.
·
Bawahan diberikan kelonggaran atau
fleksibilitas dalam melaksanakan tugas-tugas, tetapi dengan hati-hati diberi
batasan serta berbagai prosedur.
·
Bawahan yang telah berhasil
menyelesaikan tugas-tugasnya diberikan hadiah atau penghargaan, di samping
adanya sanksi-sanksi bagi mereka yang kurang berhasil, sebagai dorongan.
Sistem 3 : Kepemimpinan
Konsultasi (consultive)
Merupakan
gaya kepemimpinan yang menunjukkan bahwa dalam menetapkan tujuan, memberikan
perintah-perintah, dan membuat keputusan setelah berkonsultasi dengan
bawahannya. Ada kepercayaan terhadap bawahan, bawahan sudah diberi kesempatan
membuat keputusan dalam bidang tugasnya, keputusan-keputusan penting tetap
berada di tangan pimpinan, dalam mendorong bawahan untuk bekerja
bersungguh-sungguh lebih mengutamakan pemberian imbalan dari pada ancaman dan
hukuman, bawahan merasa diberi kebebasan untuk berdiskusi dengan atasannya.
Contoh :
·
Manajer menentukan tujuan, dan
mengemukakan berbagai ketentuan yang bersifat umum, sesudah melalui proses
diskusi dengan para bawahan.
·
Bawahan dapat mengambil keputusan
sendiri terhadap bagaimana melaksanakan tigas-tugasnya dalam batas-batas
tertentu, sedang beberapa hal tertentu sepenuhnya menjadi keputusan atasan.
·
Penghargaan dan hukuman diberikan dalam
rangka memberikan dorongan kepada bawahan.
·
Para bawahan merasa bebas untuk
berdiskusi dengan atasan mengenai hal-hal yang bertalian tugas pekerjaannya.
·
Manajer mempunyai kepercayaan dan
keyakinan kepada bawahan untuk melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik.
·
Tercipta hubungan dua arah antara atasan
dengan bawahan dengan baik.
Sistem 4 : Kepemimpinan
Paraserta kelompok (Participative Management)
Merupakan
gaya kepemimpinan yang menunjukkan bahwa semua masalah yang timbul dalam
organisasi dipecahkan bersama antara pimpinan dan para bawahan. Pimpinan sangat
mempercayai bawahan, menghimpun dan menggunakan pendapat bawahan, menciptakan
suasana kerja yang saling mendukung, timbul suasana saling menghormati antara
pimpinan dan bawahan. Komunikasi berlangsung ke bawah ke atas, serta ke
samping, hubungan persahabatan lebih mengutama daripada hubungan atasan
bawahan.
Tentang
kepemimpinan paraserta kelompok Agarwal mengemukakan bahwa “Likert adalah
penganjur kuat dari jenis kepemimpinan ini. Hal itu didasarkan atas 4 asas: (1)
Tumpang tindih kondisi kelompok struktur dengan tiap-tiap mata rantai kelompok
kerja dengan sisa organisasi melalui garis hubungan: orang merupakan anggota
lebih dari satu kelompok; (2) Hubungan pendukung; (3) Pembuatan keputusan
kelompok dan metode pengawasan kelompok; serta (4) Prestasi tujuan yang tinggi.
Contoh :
·
Dalam rangka penentuan tujuan dan
pengambilan keputusan ditentukan oleh kelompok/bersama.
·
Apabila pemimpin secara formal perlu
mengambil keputusan, dilakukan setelah adanya saran dan pendapat bersama dari
para bawahan.
·
Hubungan kerja sama antara atasan dan
bawahan terjadi dalam suasna yang penuh persahabatan dan saling
percaya-mempercayai.
·
Motivasi terhadap bawahan tidak hanya
didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan ekonomis, melainkan juga didasarkan
atas pentingnya pengakuan peranan para bawahan dalam melaksanakan tugas-tugas
organisasi.
Menurut
pendapat Likert sistem 4 merupakan gaya kepemimpinan yang paling tepat untuk
mencapai prestasi tinggi baik dalam produktivitas maupun dalam kepuasan kerja
para pegawai. Dengan adanya paraserta dari para bawahan mereka merasa ikut
memutuskan berbagai masalah yang timbul. Perasaan memutuskan menimbulkan akibat
baik lebih lanjut yaitu mereka ikut bertanggung jawab untuk melaksanakan
keputusan yang telah dibuat bersama.
Pendekatan
4 sistem menejemen Likert dikenal juga dengan sebutan kontinum Likert yang
berawal dari titik ekstrim otokritas pemerasan diakhiri pada titik ekstrem
paraserta kelompok, atau berawal dari titik ekstrem kepemimpinan terpusat pada
atasan dan berakhir pada titik ekstrem kepemimpinan terpusat pada bawahan.
The Four System Theory
Rensis Likert
Variabel Kepemimpinan
|
Sistem 1
|
Sistem 2
|
Sistem 3
|
Sistem 4
|
Kepercayaaan dan
penghargaan pada bawahan
|
Tidak ada kepercayaan
dan penghargaan pada bawahan.
|
Memiliki rasa rendah
diri kepercayaan dan penghargaan, seperti tuan terhadap pelayan.
|
Kuat tetapi tidak
lengkap dalam kepercayaan dan penghargaan; masih mengharapkan menguasai
control keputusan.
|
Kepercayaan dan
penghargaan lengkap untuk segala hal.
|
Perasaan kebebasan
bawahan
|
Bawahan sama sekali
tidak merasa bebas untuk berdiskusi tentang pekerjaan dengan atasannya.
|
Bawahan tidak merasa
amat bebas untuk berdiskusi tentang pekerjaan dengan atasannya.
|
Bawahan agak merasa
bebas untuk berdiskusi tentang pekerjaan dengan atasannya.
|
Bawahan merasa bebas
sepenuhnya untuk berdiskusi tentang pekerjaan dengan atasannya.
|
Atasan mencari
keterlibatan dengan bawahan
|
Jarang mengambil
gagasan dan pendapat dari bawahan dalam pemecahan masalah.
|
Kadang-kadang
mengambil gagasan dan pendapat bawahan dalam pemecahan masalah kerja.
|
Biasanya mengambil
gagasan dan pendapat bawahan dan biasanya mencoba membuat berguna dengan
memakai gagasan dan pendapat mereka.
|
Selain meminta
bawahan untuk menyampaikan gagasan dan pendapat dan selalu mencoba membuat
berguna dengan memakai gagasan dan pendapat mereka.
|
Dari uraian 4 sistem
managemen ini terdapat adanya 2 sistem yang ekstrem yaitu system 1 dan system
4. Perbedaan antara kedua system ekstrem tersebut dikemukakan oleh James
A.F.Stoner sebagai berikut:
Ciri
|
Sistem 1
|
Sistem 4
|
Proses kepemimpinan
|
Kepercayaan dan
kerahasiaan atasan bawahan yang rendah. Bawahan tidak merasa bebas untuk
mendekati atasan. Atasan tidak melibatkan bawahan dalam pemecahan masalah.
|
Kepercayaan dan
kerahasiaan atasan bawahan yang tinggi. Bawahan mendiskusikan secara bebas pokok-pokok
pekerjaan dengan atasan. Pimpinan selalu benar-benar melibatkan bawahan dalam
memecahkan masalah.
|
Proses komunikasi
|
Aliran informasi
terutama ke bawah. Atasan melakukan hal itu secara minimum dan bawahan
mencurigainya. Komunikasi ke atas dibatasi dan tidak seksama. Hubungan
mendatar dibatasi karena pertentangan dan kecurigaan antar bawahan secar
psikologis ada jarak dan saling merasakan secara tidak seksama.
|
Informasi mengalir
dengan bebas dan dengan tepat ke semua arah. Bawahan menerima menerima atau
menanyakan dengan tulus komunikasi ke bawah. Atasan dan bawahan secara
psikologis merupakan sahabat dan saling merasakan dengan seksama.
|
Proses saling
pengaruh mempengaruhi
|
Saling pengaruh
atasan bawahan yang terbatas ditandai oleh ketakutan dan rasa tidak percaya.
Pengaruh yang terbatas oleh bawahan kecuali melalui saluran informal dan
perkumpulan pekerja.
|
Saling pengaruh yang
ramah serta luas, kepercayaan yang tinggi, dan kerahasiaan antara atasan dan
bawahan. Pengaruh yang tinggi oleh bawahan secara langsung dan melalui
perkumpulan pekerja.
|
Proses pembuatan
keputusan
|
Keputusan dibuat oleh
atasan dengan sedikit atau tanpa pengetahuan tentang masalah dari tingkat
yang lebih rendah atau tanpa melibatkan bawahan.
|
Keputusan dibuat oleh
peran serta kelompok dan biasanya konsensus dengan kesadaran tinggi tentang
masalah dari tingkat yang lebih rendah.
|
Proses penentuan
tujuan
|
Penetapan tujuan
dengan perintah dari atasan.
|
Biasanya penetapan
tujuan dengan peran serta kelompok.
|
Proses kontrol
|
Perhatian utama untuk
pelaksanaan fungsi control dibatasi pada tingkat puncak.
|
Perhatian untuk
pelaksanaan fungsi control dirasakan seluruh organisasi.
|
Akhirnya
Likert mengemukakan kesimpulan bahwa organisasi yang tidak produktif disebabkan
adanya kecenderungan pemimpin ke arah perilaku sistem I dan II. Sebaliknya
produktivitas tinggi yang dapat dicapai oleh suatu organisasi, banyak
ditentukan oleh adanya gaya kepemimpinan yang konsultatif atau partisipatif
atau kepemimpinan sistem ke-IV.
c.
Teori Leadership Continuum dari
Tannenbaum and Schmidt
Robert Tannenbaum,
Living R. Wischler, Fred Massarik mengemukakan definisi kepemimpinan sebagai
pengaruh antar pribadi pada suatu keadaan dan diarahkan melalui proses
komunikasi, ke arah tercapainya suatu tujuan-tujuan yang sudah ditetapkan.
Model Leadership
Continuum merupakan hasil pemikiran Robbert Tannenbaum dan Warren H. Schmidt.
Seperti dikemukakan dalam perilaku atau disebut juga gaya pada hakikatnya
merupakan tingkah laku pemimpin sampai seberapa jauh hubungannya dengan bawahan
di dalam rangka pengambilan keputusan.
Menurut teori kontinum
ada tujuh tingkatan hubungan pemimpin dengan bawahan:
·
Pemimpin membuat dan mengumumkan
keputusan terhadap bawahan (telling).
·
Pemimpin menjual dan menawarkan
keputusan terhadap bawahan (selling).
·
Pemimpin menyampaikan ide dan mengundang
pertanyaan.
·
Pemimpin memberikan keputusan tentative,
dan keputusan masih dapat diubah.
·
Pemimpin memberikan problem dan minta
saran pemecahannya kepada bawahan (consulting).
·
Pemimpin menentukan batasan-batasan dan
minta kelompok untuk membuat keputusan.
·
Pemimpin mengizinkan bawahan berfungsi
dalam batas-batas yang ditentukan (joining).
Jadi, berdasrkan teori
kontinum, perilaku pemimpin pada dasarnya bertitik tolak dari dua pandangan
dasar :
·
Berorientasi kepada pemimpin
·
Berorientasi pada bawahan
Dan teori kontinum ini
oleh Tannenbaum dan Schmidt dilukiskan dengan model atau gambar sebagai berikut
:
Model atau gambar
tersebut dapat diterangkan sebagai berikut:
Semakin
bergeser ke kanan, semakin meluas kebebasan bawahan, sehingga semakin nyata
bawahan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Dan sebaliknya semakin
sempit otoritas pemimpin. Jadi perilaku pemimpin berorientasi kepada bawahan
atau disebut kepemimpinan yang bergaya demokratis.
Semakin
bergeser ke kiri, semakin meluas otoritas pemimpin. Sehingga semakin sempit
atau semakin dibatasi kebebasan bawahan di dalam keterlibatan pengambilan
keputusan. Jadi, perilaku pemimpin berorientasi kepada pemimpin atau dapat
disebut pula kepemimpinan yang bergaya otoriter.
3.
MODERN CHOICE APPROACH TO PARTICIPATION
Konsep Decision Tree of
Leadership dari Vroom & Yetton
Salah
satu tugas utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan. Karena
keputusan-keputusan yg dilakukan para pemimpin sering kali sangat berdampak kpd
para bawahan mereka, maka jelas bahwa komponen utama dari efektifitas pemimpin
adalah kemampuan mengambil keputusan yang sangat menentukan keberhasilan
melaksanakan tugas-tugas pentingnya. Pemimpin yang mampu membuat keputusan
dengan baik akan lebih efektif dalam jangka panjang dibanding dengan mereka yg
tidak mampu membuat keputusan dengan baik. Sebagaimana telah kita pahami bahwa
partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan kepuasan
kerja, mengurangi stress, dan meningkatkan produktivitas.
Normative Theory dari
Vroom and Yetton sebagai berikut :
·
AI (Autocratic) : Pemimpin memecahkan
masalah atau membuat keputusan secara unilateral, menggunakan informasi yang
ada
·
AII (Autocratic) : Pemimpin memperoleh
informasi yang dibutuhkan dari bawahan namun setelah itu membuat keputusan
secara unilateral.
·
CI (Consultative) : Pemimpin membagi
permasalahan dengan bawahannya secara perorangan, namun setelah itu membuat
keputusan secara unilateral.
·
CII (Consultative) : Pemimpin membagi permasalahan
dengan bawahannya secara berkelompok dalam rapat, namun setelah itu membuat
keputusan secara unilateral.
·
GII (Group Decision) : Pemimpin membagi
permasalahan dengan bawahannya secara berkelompok dalam rapat; Keputusan
diperoleh melalui diskusi terhadap konsensus.
Dalam
memilih alternatif-alternatif pengambilan keputusan tersebut para pemimpin
perlu terlebih dahulu membuat pertanyaan kepada diri sendiri, seperti: apakah
kualitas pengambilan keputusan yang tinggi diperlukan, apakah saya memiliki
informasi yang cukup untuk membuat keputusan yang berkualitas tersebut, apakah
permasalahannya telah terstruktur dengan baik. Dalam kaitannya dengan
penerimaan keputusan, pemimpin harus bertanya, apakah sangat penting untuk
efektifitas implementasi para bawahan menerima keputusan, apakah para bawahan
menerima tujuan organisasi yang akan dicapai melalui pemecahan masalah ini.
Normative Theory: Rules
Designed To Protect Decision Quality (Vroom & Yetton, 1973)
· Leader Information
Rule: Jika kualitas keputusan penting dan anda tidak punya cukup informasi atau
ahli untuk memecahkan masalah itu sendiri, eleminasi gaya autucratic.
· Goal Congruence Rule:
Jika kualitas keputusan penting dan bawahan tidak suka untuk membuat keputusan
yang benar, aturlah keluar gaya partisipasi tertinggi.
· Unstructured Problem
Rule: Jika kualitas keputusan penting untuk anda kekurangan cukup informasi dan
ahli dan masalah ini tidak terstruktur, eliminasi gaya kepemimpinan autocratic.
· Acceptance Rule: Jika
persetujuan dari bawahan adalah krusial untuk implementasi efektif, eliminasi
gaya autocratic.
· Conflict Rule: Jika
persetujuan dari bawahan adalah krusial untuk implementasi efektif, dan mereka
memegang opini konflik di luar makna pencapaian beberapa sasaran, eliminasi
gaya autocratic.
· Fairness Rule: Jika
kualitas keputusan tidak penting, namun pencapaiannya penting, maka gunakan
gaya yang paling partisipatif.
· Acceptance Priority
Rule: Jika persetujuan adalah kritikan dan belum tentu mempunyai hasil dari
keputusan autocratic dan jika bawahan tidak termotivasi untuk mencapai tujuan
organisasi, gunakan gaya yang paling partisipatif.
Model
ini membantu pemimpin dalam menentukan gaya yang harus dipakai dalam berbagai
situasi. Tidak ada satu gaya yang dapat dipakai pada segala situasi. Fokus
utama harus pada masalah yang akan dihadapi dan situasi di mana masalah ini
terjadi. Gaya kepemimpinan yang digunakan pada satu situasi tidak boleh
membatasi gaya yang dipakai dalam situasi lain.
Hal-hal yang harus
diperhatikan :
·
Beberapa proses sosial mempengaruhi tingkat
partisipasi bawahan dalam pemecahan masalah
·
Spesifikasi kriteria untuk menilai
keefektifan keputusan
·
Yang termasuk dalam keefektifan
keputusan antara lain : Kualitas keputusan, komitmen bawahan, dan pertimbangan
waktu.
·
Kerangka untuk menggambarkan perilaku
atau gaya pemimpin yang spesifik
·
Variabel diagnostik utama yang
menggambarkan aspek penting dari situasi kepemimpinan
4.
Contingency Theory of Leaderhip dari
Fiedler
Kepemimpinan
tidak akan terjadi dalam satu kevakuman sosial atau lingkungan. Para pemimpin
mencoba melakukan pengaruhnya kepada anggota kelompok dalam kaitannya dengan
situasi-situasi yg spesifik. Karena situasi dapat sangat bervariasi sepanjang
dimensi yang berbeda, oleh karenanya hanya masuk akal untuk memperkirakan bahwa
tidak ada satu gaya atau pendekatan kepemimpinan yang akan selalu terbaik.
Namun, sebagaimana telah kita pahami bahwa strategi yg paling efektif mungkin
akan bervariasi dari satu situasi ke situasi lainnya.
Penerimaan
kenyataan dasar ini melandasi teori tentang efektifitas pemimpin yang
dikembangkan oleh Fiedler, yang menerangkan teorinya sebagai Contingency
Approach. Teori-teori kontingensi berasumsi bahwa berbagai pola perilaku
pemimpin (atau ciri) dibutuhkan dalam berbagai situasi bagi efektivitas
kepemimpinan. Asumsi sentral teori ini adalah bahwa kontribusi seorang pemimpin
kepada kesuksesan kinerja oleh kelompoknya adalah ditentukan oleh kedua hal
yakni karakteristik pemimpin dan dan oleh berbagai variasi kondisi dan situasi.
Untuk dapat memahami secara lengkap efektifitas pemimpin, kedua hal tersebut
harus dipertimbangkan.
Fiedler
memprediksi bahwa para pemimpin dengan Low LPC yakni mereka yang mengutamakan
orientasi pada tugas, akan lebih efektif dibanding para pemimpin yang High LPC,
yakni mereka yang mengutamakan orientasi kepada orang/hubungan baik dengan
orang apabila kontrol situasinya sangat rendah ataupun sangat tinggi.
Sebaliknya para pemimpin dengan High LPC akan lebih efektif dibanding pemimpin
dengan Low LPC apabila kontrol situasinya moderat.
Model
kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model
tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja
kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan
kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya.
Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan
ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor
tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations),
struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power).
Hubungan antara
pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu dipercaya dan
disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin.
Misalnya :
·
Minta orang tertentu untuk bekerja dalam
kelompok
·
Pindahkan bawahan tertentu ke luar dari
unit
·
Sukarela mengarahkan bawahan yang bandel
atau sulit diatur
Struktur tugas
menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan
secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi
dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku.
Misalnya :
·
Jika mungkin, berikan tugas baru atau
tidak biasa pada kelompok
·
Bagi tugas menjadi subtugas yang lebih
kecil sehingga lebih terstruktur
Kekuatan posisi
menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh
pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa
memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing.
Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya)
menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan
penurunan pangkat (demotions).
Misalnya :
·
Tunjukkan pada bawahan siapa yang
berkuasa dengan menerapkan seluruh otoritas yang Anda miliki
·
Pastikan informasi pada kelompok hanya
dapat diperoleh melalui anda
·
Biarkan bawahan berpartisipasi dalam
perencanaan dan pengambilan keputusan
5.
Path Goal Theory
Salah
satu pendekatan yang paling diyakini adalah teori path-goal. Teori path-goal
adalah suatu model kontingensi kepemimpinan yang dikembangkan oleh Robert
House, yang menyaring elemen-elemen dari penelitian Ohio State tentang
kepemimpinan pada inisiating structure dan consideration serta teori pengharapan
motivasi.
Dasar
dari teori ini adalah bahwa merupakan tugas pemimpin untuk membantu anggotanya
dalam mencapai tujuan mereka dan untuk memberi arah dan dukungan atau keduanya
yang dibutuhkan untuk menjamin tujuan mereka sesuai dengan tujuan kelompok atau
organisasi secara keseluruhan. Istilah path-goal ini datang dari keyakinan
bahwa pemimpin yang efektif memperjelas jalur untuk membantu anggotanya dari
awal sampai ke pencapaian tujuan mereka, dan menciptakan penelusuran
disepanjang jalur yang lebih mudah dengan mengurangi hambatan dan pitfalls
(Robbins, 2002).
Teori
Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku
individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan
valensi dari hasil (goal attractiveness). Individu akan memperoleh kepuasan dan
produktif ketika melihat adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang
mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai dengan nilai tinggi. Model
path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif adalah mereka yang
membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi.
Menurut
teori path goal, suatu perilaku pemimpin dapat diterima oleh bawahan pada
tingkatan yang ditinjau oleh mereka sebagai sebuah sumber kepuasan saat itu
atau masa mendatang. Perilaku pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang (1)
membuat bawahan merasa butuh kepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif,
dan (2) menyediakan ajaran, arahan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan
dalam kinerja efektif (Robins, 2002). Untuk pengujian pernyataan ini, Robert
House mengenali empat perilaku pemimpin. Pemimpin yang berkarakter
directive-leader, supportive leader, participative leader dan
achievement-oriented leader. Berlawanan dengan pandangan Fiedler tentang
perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa pemimpin itu bersifat fleksibel. Teori
path goal mengimplikasikan bahwa pemimpin yang sama mampu menjalankan beberapa
atau keseluruhan perilaku yang bergantung pada situasi (Robins, 2002).
Model
kepemimpinan path goal berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam
berbagai situasi. Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena pengaruh
motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan
pengikutnya. Teorinya disebut sebagai path goal karena memfokuskan pada
bagaimana pimpinan mempengaruhi persepsi pengikutnya pada tujuan kerja, tujuan
pengembangan diri, dan jalan untuk menggapai tujuan.
Model path-goal
menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:
1.
memberi kejelasan alur. Maksudnya,
seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya dalam memahami bagaimana cara
kerja yang diperlukan di dalam menyelesaikan tugasnya.
2.
meningkatkan jumlah hasil (reward)
bawahannya dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi
mereka.
Untuk membentuk
fungsi-fungsi tersebut, pemimpin dapat mengambil berbagai gaya kepemimpinan.
Empat perbedaan gaya kepemimpinan dijelaskan dalam model path-goal sebagai
berikut (Koontz et al dalam Kajanto, 2003)
1. Kepemimpinan pengarah
(directive leadership)
Pemimpinan
memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan
jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta memberikan
bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas
tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan
pengawasan.
2. Kepemimpinan
pendukung (supportive leadership)
Pemimpin bersifat ramah
dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan. Ia juga memperlakukan semua
bawahan sama dan menunjukkan tentang keberadaan mereka, status, dan
kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha untuk mengembangkan hubungan
interpersonal yang menyenangkan di antara anggota kelompok. Kepemimpinan
pendukung (supportive) memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan
pada saat mereka sedang mengalami frustasi dan kekecewaan.
3. Kepemimpinan
partisipatif (participative leadership)
Pemimpin partisipatif
berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran dan ide mereka sebelum
mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan
motivasi kerja bawahan.
4. Kepemimpinan
berorientasi prestasi (achievement-oriented leadership)
Gaya kepemimpinan
dimana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk
berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan
prestasi dalam proses pencapaian tujuan tersebut.
Dengan menggunakan
salah satu dari empat gaya di atas, dan dengan memperhitungkan faktor-faktor
seperti yang diuraikan tersebut, seorang pemimpin harus berusaha untuk
mempengaruhi persepsi para karyawan atau bawahannya dan mampu memberikan
motivasi kepada mereka, dengan cara mengarahkan mereka pada kejelasan
tugas-tugasnya, pencapaian tujuan, kepuasan kerja dan pelaksanaan kerja yang
efektif.
Terdapat dua faktor
situasional yang diidentifikasikan kedalam model teori path-goal, yaitu:
personal characteristic of subordinate and environmental pressures and demmand
(Gibson, 2003).
1. Karakteristik
Bawahan
Pada faktor situasional
ini, teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bisa
diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut akan
merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu
instrumen bagi kepuasan-kepuasan masa depan. Karakteristik bawahan mencakup
tiga hal, yakni:
a. Letak Kendali (Locus
of Control)
Hal ini berkaitan
dengan keyakinan individu sehubungan dengan penentuan hasil. Individu yang
mempunyai letak kendali internal meyakini bahwa hasil (reward) yang mereka
peroleh didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan mereka
yang cenderung letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka peroleh
dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang internal
cenderung lebih menyukai gaya kepemimpinan yang participative, sedangkan
eksternal umumnya lebih menyenangi gaya kepemimpinan directive.
b. Kesediaan untuk
Menerima Pengaruh (Authoritarianism)
Kesediaan orang untuk
menerima pengaruh dari orang lain. Bawahan yang tingkat authoritarianism yang
tinggi cenderung merespon gaya kepemimpinan yang directive, sedangkan bawahan
yang tingkat authoritarianism rendah cenderung memilih gaya kepemimpinan
partisipatif.
c. Kemampuan
(Abilities)
Kemampuan dan
pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih berhasil
dengan pemimpin yang berorientasi prestasi (achievement-oriented) yang telah
menentukan tantangan sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi yang
tinggi, atau pemimpin yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan
mengarahkan mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung
memilih gaya kepemimpinan achievement oriented, sedangkan bawahan yang
mempunyai kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin yang supportive.
2. Karakteristik
Lingkungan
Pada faktor situasional
ini path-goal menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan menjadi faktor motivasi
terhadap para bawahan, jika:
a. Perilaku tersebut
akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan tercapainya
efektivitas dalam pelaksanaan kerja.
b. Perilaku tersebut
merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa pemberian
latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan
pelaksanaan kerja.
Karakteristik
lingkungan terdiri dari tiga hal, yaitu:
a. Struktur Tugas
Struktur kerja yang
tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.
b. Wewenang Formal
Kepemimpinan yang
direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan participative bagi organisasi
dengan strktur wewenang formal yang tinggi
c. Kelompok Kerja
Kelompok kerja dengan
tingkat kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportive.
Sumber :
Sarwono, Sarlito W. 2005. Psikologi Sosial
(Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan). Balai Pustaka, Jakarta.
Sutarto. 1995. Dasar-Dasar Kepemimpinan
Administrasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Wahjosumidjo. 1993. Kepemimpinan dan Motivasi.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Wexley, Kenneth N, dkk.1992. Perilaku Organisasi dan
Psikologi Personalia. Jakarta: Rneka Cipta.
Sastrodiningrat.1999. Kapita Selekta Manajemen dan
Kepemimpinan.Yogyakarta: IND-HILL-CO.
Uno, Amzah B. 2008. Teori Motivasi &
Pengukurannya Kajian & Analisis di Bidang Pendidikan. Jakarta: Penerbit
Bumi Aksara.
Vroom, VH dan Yetton, PW (1973). Kepemimpinan dan
pengambilan keputusan. Pittsburg: University of Pittsburg
Munandar, Ashar Sunyoto . 2001 , Psikologi Industri dan Organisasi, Jakarta. Universitas Indonesia
Manulang,M.2012.DASAR-DASAR MANAJEMEN.Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.
Munandar, Ashar Sunyoto . 2001 , Psikologi Industri dan Organisasi, Jakarta. Universitas Indonesia
Manulang,M.2012.DASAR-DASAR MANAJEMEN.Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.
Mukhyi,Abdul M &
Saputro,Imam,Hadi.1995.PENGANTAR MANAJEMEN UMUM.Jakarta:Gunadarma University.
http://religiouscounsellingstain.blogspot.com/2013/04/konsep-motivasi-dalam-psikologi.html
http://butuhjilbab.wordpress.com/2013/04/17/pengertian-motivasi-menurut-para-ahli-definisi-fungsi-jenis-sifat-teori-ciri/
http://atpsikologi.blogspot.com/2009/10/pengertian-motivasi-menurut-para-ahli.html
http://blog.uny.ac.id/iisprasetyo/teori-path-goal-dalam-kepemimpinan/
0 komentar:
Posting Komentar